Mudik untuk Pemberdayaan Masyarakat


Tulisan ini telah mendapatkan penghargaan sebagai 15 Besar Kontes Blog “Teman Hatta Rajasa” Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia yang diumumkan Oktober 2011. http://duniadian.com/juara-tiga-kontes-blog-teman-hatta-rajasa/

______________________________________________________________

Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan bahwa salah satu definisi mudik adalah pulang ke kampung halaman. Namun saat ini kata mudik lebih banyak dipakai untuk kegiatan pulang kampung ketika menyambut perayaan hari raya Idul Fitri. Selain sebagai sarana mempererat silaturahmi, mudik juga ternyata menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Tahukah Anda bahwa dana yang berputar dalam kegiatan mudik tahun ini diperkirakan sebesar Rp. 11,2 triliun?

sumber foto : matanews.com

Kita asumsikan setiap pemudik tahun 2011 ini adalah pekerja dengan gaji yang dianggap sama sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP). Jika rata-rata UMP di Indonesia sebesar Rp. 910.000 dan setiap pemudik mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar 1 kali gaji, maka pemudik memiliki dana minimal sebesar gaji bulan Agustus 2011 ditambah dengan THR yaitu Rp. 1.820.000. Dengan asumsi 60 persen dana tersebut dipergunakan untuk keperluan pribadi pemudik, maka 40 persennya atau sebesar Rp. 728.000 yang kemudian dibawa mudik ke daerah asal masing-masing. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan RI, jumlah pemudik tahun 2011 diperkirakan berjumlah sekitar 15,4 juta orang, naik 4,14% dari jumlah pemudik tahun lalu yang berjumlah 14,8 juta orang. Dengan jumlah pemudik sebesar itu, dana yang mengalir ke daerah saat mudik bisa mencapai Rp. 11,2 triliun. Jumlah ini tentu akan lebih besar lagi jika pemudik memiliki tabungan sebagai dana tambahan yang dibawa mudik.

Yang menjadi pertanyaan adalah, kemana mengalirnya dana Rp. 11,2 triliun tersebut? Apakah menjadi sesuatu yang bermanfaat atau malah menjadi hal yang mubazir? Bagaimana jika dana sebesar itu dimanfaatkan juga untuk kegiatan ekonomi produktif?

Paradigma bahwa uang yang dibawa mudik ke daerah masing-masing (gaji beserta THR ditambah tabungan) harus habis dikonsumsi selama mudik, harus dihilangkan. Orang yang menerima uang dari pemudik di kampung halaman pun tidak boleh menghabiskan seluruh dananya hanya untuk hal-hal yang bersifat konsumtif semata. Pemudik perlu disadarkan terlebih dahulu tentang betapa besarnya potensi ekonomi daerah asal pemudik dan keuntungan yang akan diraih jika menyisihkan dana mudiknya untuk kegiatan produktif di daerah asal.

Siapakah yang dapat menyadarkan dan selanjutnya mengelola dana mudik tersebut? Yang pertama dan yang seharusnya paling bertanggung jawab adalah pemerintah daerah tempat asal pemudik. Bahkan jika perlu pemerintah tingkat desa-lah yang membuat terobosan. Pemerintah daerah menjadi pihak yang paling tahu potensi daerah yang masih membutuhkan dana investasi. Melalui Dinas Informasi dan Komunikasi di masing-masing daerah dapat dipasang pengumuman tentang potensi daerah tersebut. Yang kedua adalah lembaga zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf (ZISWAF) nasional yang sudah banyak memiliki cabang di daerah atau lembaga ZISWAF asli daerah setempat. Sejauh ini, program-program yang diluncurkan oleh beberapa lembaga ZISWAF sudah terbukti dapat memberdayakan potensi masyarakat yang ada. Bahkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini sudah semakin tinggi karena terbukti amanah dalam mengelola dana masyarakat, terlihat dari adanya audit dan laporan keuangan yang dipublikasikan di media massa. Pihak yang ketiga adalah lembaga keuangan mikro dan koperasi di daerah setempat, yang dapat dengan mudah memberikan janji tingkat pengembalian terhadap dana masyarakat yang disetorkan.

Saya sendiri cenderung melihat bahwa pihak yang memiliki kesiapan untuk memutar dana mudik tersebut adalah lembaga ZISWAF atau lembaga keuangan mikro dan koperasi, berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Terdapat dua skenario pemanfaatan dana mudik. Jika dana disalurkan melalui lembaga ZISWAF, maka dana tersebut akan bersifat sosial. Pemudik tidak bisa berharap mendapatkan keuntungan ekonomis secara langsung dari dana yang disalurkannya. Dana tersebut akan terserap oleh program pemberdayaan masyarakat yang digulirkan oleh lembaga ZISWAF. Sebagai gantinya, mereka akan mendapati daerah asalnya mengalami kemajuan sosial dan ekonomi di kemudian hari karena telah terjadi pemberdayaan masyarakat. Beberapa contoh pemanfaatan dana sosial tersebut adalah usaha peternakan hewan untuk kurban, budidaya ikan, sayuran organik, jasa, perdagangan, dan lain-lain. Skenario kedua adalah jika dana disalurkan melalui lembaga keuangan mikro dan koperasi, maka pemudik akan mendapatkan keuntungan ekonomis. Dana tersebut nantinya akan diserap oleh kegiatan ekonomi daerah setempat yang menghasilkan laba, sehingga pemudik akan mendapatkan pengembalian dari dana yang mereka setorkan. Tinggal bagaimana lembaga-lembaga tersebut membuat program sekreatif mungkin sehingga dapat menarik pemudik untuk menyalurkan dananya. Dengan sosialisasi program yang baik, ketertarikan pemudik pasti akan tinggi.

Diharapkan dari dana mudik yang besar tersebut, baik yang tersalur secara sosial maupun ekonomis, dapat menjadi solusi pemberdayaan masyarakat daerah sekaligus juga sebagai penggerak kewirausahaan di setiap daerah asal pemudik. Pemudik akan mendapatkan manfaat berkelanjutan dan kegiatan mudik menjadi salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi nasional yang positif setiap tahunnya. Saatnya “ritual” beberapa hari dalam setahun dari sebagian masyarakat, memberikan hasil bertahun-tahun bagi seluruh masyarakat. Semoga..


Leave a Reply