Flyover, an advancement or deterioration?


WP_20150615_002

Akhir minggu lalu saya kembali mengunjungi Jakarta dan kebetulan melewati jalan depan Mabes Polri yang sedang dibangun flyover baru. Bagi banyak orang, adanya pembangunan flyover ini dianggap sebagai sebuah kemajuan dan cerminan modernisasi yang sudah sewajarnya ada di kota metropolitan. Ya memang betul, teknologi yang dipergunakan untuk membangun flyover tersebut tentunya adalah teknologi masa kini. Alat-alat yang dipakai, material yang dibutuhkan, serta keahlian perencanaannya tentulah yang up to date. Banyak pihak merasa bangga dengan adanya fly over tersebut.

Tapi kok tiba-tiba ada yang menggelitik. Waktu yang agak lama sambil menunggu lampu hijau di perempatan ke arah Jl. Wolter Monginsidi, membuat saya berpikir flyover ini adalah sebuah kemunduran. Loh kok?

Apa alasan dibangunnya flyover? Jawabannya adalah untuk mengatasi kemacetan.
Kenapa macet? 1. Karena banyak kendaraan stop/parkir di sisi jalan (bahkan kadang stop di tengah) terutama kendaraan umum, 2. Karena banyaknya persimpangan.
Kenapa banyak yang stop/parkir? 1. Karena kesadaran ketertiban lalu lintas pengendara rendah, 2. Karena lemahnya penindakan, 3. Karena banyak bangunan di sisi jalan tersebut yang tidak memiliki lahan parkir memadai namun tetap diijinkan mendirikan bangunan/membuka tempat usaha.

flyover

Dari 3 penyebab dari sekian penyebab tambahan lain, terlihat bahwa akar masalah pembangunan flyover adalah di aspek manusianya. Manusia pengendara, manusia penindak pelanggaran, manusia pemberi ijin. Inilah yang saya katakan kemunduran. Pembangunan flyover sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah tersebut. Ketika flyover selesai dibangun dan dipergunakan, memang kemacetan akan terurai namun perilaku stop/parkir sembarangan di bawah flyover sepertinya tidak akan berkurang atau bahkan bertambah karena merasa kendaraan yang ingin melaju cepat pasti mempergunakan flyover. Jika merujuk Kementerian PU (https://www.pu.go.id/isustrategis/view/24) kemacetan dicirikan secara teoritik oleh arus yang tidak stabil, kecepatan tempuh kendaraan yang lambat, serta antrian kendaraan yang panjang, yang biasanya terjadi pada konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi atau pada persimpangan lalu-lintas di pusat-pusat perkotaan.

Lalu apa solusinya? Ga ada lain, penegakan aturan setegak-tegaknya. Basi kan, ya memang basi karena selama ini penegakannya setengah hati. Jika dari dulu penegakan aturan dilakukan secara konsisten, mungkin biaya pembangunan flyover bisa dipakai buat bikin jalan biasa di banyak daerah lain di Indonesia.

So what next?? Saya harus segera jalan karena lampu hijau sudah menyala..

 

 

2nd photo credit:

http://www.jitunews.com/view/282/kemacetan-warnai-pembanguan-fly-over-kapt-tendean-ciledug#axzz3dR4OgMRA


Leave a Reply