Turunkan ekspektasi, Tingkatkan Kepuasan Pelanggan


Di tahap akhir proses keputusan pembelian yaitu Perilaku Pasca Pembelian, pelanggan akan mengambil tindakan berdasarkan kepuasan atau ketidakpuasan yang mereka rasakan. Mengukur kepuasan adalah dengan cara membandingkan antara ekspektasi/harapan sebelum mengkonsumsi produk dengan kinerja yang dirasakan setelah mengkonsumsi produk. Kepuasan pelanggan didapat jika kinerja produk lebih tinggi daripada ekspektasi. Untuk semakin meningkatkan kepuasan pelanggan, produsen hanya punya dua cara. Pertama adalah meningkatkan kinerja dan kedua yaitu menurunkan ekpektasi.

https://i0.wp.com/4.bp.blogspot.com/_Hj39LrX18w8/SX5u_uTdTPI/AAAAAAAAAAw/9QZiPIzvBKs/s400/Company%27s+Performance+vs.+Customer%27s+Expectation.jpg

 

Banyak indikator yang bisa dipakai dalam membandingkan kinerja dengan ekspektasi. Yang pasti, indikator kinerja dan ekspektasi dalam pengukuran kepuasan satu produk haruslah indikator yang sama. Salah satu indikator yang paling sering dipakai terutama untuk produk jasa adalah dimensi ServQual yang dicetuskan oleh Parasuraman dkk. ServQual terdiri dari indikator Tangible, Empathy, Reliability, Responsiveness, dan Assurance yang sering disingkat dengan TERRA.

Kembali kepada cara meningkatkan kepuasan yaitu meningkatkan kinerja dan/atau menurunkan ekspektasi. Untuk cara pertama yaitu meningkatkan kinerja, sepertinya hal ini sudah sangat jelas. Produk dan segala hal yang terkait dengan penghantaran value kepada pelanggan harus didorong menjadi yang terbaik. Cara kedua yaitu menurukan ekspektasi. Meskipun terdengar kurang populer namanya, implementasi cara ini sebenarnya sering juga kita jumpai.

Setelah berhasil meningkatkan kinerja sampai batas optimal yang mampu dicapai dalam rangka mencapai kepuasan pelanggan, apakah produsen harus berhenti?  Jika mengacu kepada dua cara di atas, masih ada cara kedua yaitu menurunkan ekspektasi pelanggan. Ekspektasi terhadap produk pasti selalu ada. Agar gap antara kinerja dengan ekspektasi dapat menghasilkan kepuasan yang tinggi, maka nilai ekspektasi harus ditekan serendah mungkin.

Menurunkan ekspektasi bukanlah menurunkan kualitas. Menurunkan ekspektasi adalah cara meningkatkan kepuasan yang lebih bersifat psikis. Untuk melakukan cara kedua ini, produsen harus benar-benar tahu seperti apa ekspektasi pelanggannya. Misalnya produk jasa penjahitan baju. Seorang penjahit (kita sebut saja namanya Mawar) berdasarkan pengamatannya mengetahui bahwa waktu yang dijanjikan para pesaingnya dalam membuat kemeja kepada pelanggan adalah 6 hari. Sementara Mawar dengan segala kecanggihannya mampu menjahit kemeja dalam waktu 4 hari. Ketika Mawar menerima pelanggan yang akan menjahit kemeja, dia janjikan kemeja tersebut akan selesai dalam 6 hari. Namun pada hari ke-4 Mawar menghubungi pelanggannya untuk mengabari bahwa kemeja sudah jadi. Awalnya ekspektasi pelanggan adalah kemeja jadi dalam 6 hari. Namun ketika Mawar mengabari pada hari ke-4 sudah jadi, hal tersebut menjadi implementasi penurunan ekspektasi.

Contoh lain menurunkan ekspektasi misalnya pada penjualan notebook. Penjual notebook memberi tahu pelanggannya bahwa jika pelanggan mau membeli pada hari ini maka akan mendapatkan diskon sebesar 10% dari harga awal Rp.5 juta. Padahal kenyataannya, price list dari distributor untuk notebook tersebut adalah Rp.4 juta. Jadi ketika pelanggan sudah siap membeli notebook dengan harga Rp. 5 juta namun ditawari lagi diskon sampai Rp.500 ribu, saat itulah penjual menurunkan ekspektasi.

Jadi bagi para pemasar, jangan hanya meningkatkan kinerja produk dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan. Turunkan juga ekspektasi pelanggan, agar gap antara kinerja dengan ekspektasi semakin lebar sehingga kepuasan pelanggan semakin tinggi.

Sumber gambar:

  • http://marketingmatter.blogspot.com/2009/01/customer-satisfaction-and-customer.html
  • http://www.square2marketing.com/blog/

Leave a Reply