Private Label, contoh lain dari the power of packaging


Saat ini di setiap peritel modern semakin mudah kita jumpai produk private label. Perkembangan private label yang sangat pesat dapat terlihat dari semakin banyaknya jenis produk private label yang dipasarkan. Jika dulu private label masih sebatas pada produk seperti gula dan tissue, saat ini sudah ada private label untuk shuttle cock, tshirt, dan minuman berkarbonasi. Beberapa produk private label yang mudah dijumpai saat ini antara lain adalah beras, snack, krimer, kecap, sayuran beku, diapers (baby & adult), kapas, sabun, pembersih rumah, obat nyamuk, kotak sampah, roti & kue, mie instan, keset, kaos singlet, panci, toples, electric kettle, selai, air minum, dan masih banyak lagi.

Private label diperkenalkan di Indonesia pertama kali (CMIIW) oleh jaringan peritel Hero dengan merek Hero Save, Nature Choice, dan Relliance. Ada pula peritel Makro dengan merek Aro, Giant dengan merek Giant dan First Choice, Carrefour dengan merek Carrefour dan PM (Paling Murah), Yogya dengan merek YOA, Indomaret, Hypermart, dan Alfamart.

Definisi sederhana dari private label adalah produk yang dijual di sebuah toko/peritel dengan merek yang dibuat khusus oleh toko/peritel tersebut. Private label dikenal juga sebagai store brand. Strategi private label ini lazimnya dilakukan oleh jaringan peritel modern.

Mengapa strategi private label dilakukan oleh peritel modern?

  1. Harga yang dapat disetting lebih murah dibandingkan produk sejenis yang ‘bermerek’. Hal ini tentu sangat menarik bagi konsumen yang price sensitive. Beberapa penyebab harga private label dapat lebih murah adalah karena pemanfaatan kapasitas produksi supplier yang tidak terpakai, pembelian yang dilakukan secara bulk/partai oleh peritel, dan tidak adanya biaya promosi dari supplier kepada peritel. Promosi peritel terhadap private label hanya dilakukan dengan media katalog dan penempatan produk pada rak toko tentunya.
  2. Margin keuntungan yang cenderung lebih besar jka dibandingkan dengan produk ‘bermerek’. Berdasarkan riset Food Marketing Institute di AS, peritel bisa mendapatkan 35% gross margin dari produk private label. Sementara gross margin dari produk ‘bermerek’ hanya 25,9%.
  3. Peritel tahu benar produk apa saja yang perputarannya cepat (fast moving) berdasarkan data base yang dimilikinya. Sehingga dengan memiliki private label untuk produk fast moving, semakin besar keuntungan yang langsung diterima oleh peritel tersebut.
  4. Bisnis ritel identik dengan perang harga. Semakin murah harga produk yang ditawarkan, semakin banyak konsumen yang berbelanja di peritel tersebut. Nah, private label lah yang dapat menjaga dan menguatkan citra harga murah dari peritel tersebut. Karena kontrol private label berada 100% di tangan peritel.

Bagaimana cara agar private label tetap berharga murah namun tidak terkesan murahan, mungkin lambat laun mulai mengganggu pikiran manajemen peritel modern. Salah satu contoh hasil pemikirannya dapat saya temui kemarin (6 januari 2011) di supermarket Giant. Saya dapati produk private label bermerek First Choice dengan desain kemasan yang menarik. Bahkan dapat saya katakan, kemasannya lebih menarik daripada produk sejenis yang ‘bermerek’.

Penggunaan bahan kemasan yang serupa dengan produk ‘bermerek’, pemasangan foto produk yang artistik, layout kemasan yang tertata baik, pemilihan warna yang menambah ‘segar’ penampilan kemasan, serta penulisan kalimat terkait produk yang informatif, benar-benar menghapus kesan murahan dari private label yang dulu hanya dikemas alakadarnya menggunakan kantung plastik transparan yang tipis dengan sablonan 1 warna untuk merek dan tulisan secukupnya.

Jika sudah begini, ke depan bukan lagi brand image peritel modern yang mempengaruhi private label. Tapi sangat mungkin brand image private label lah yang mempengaruhi peritel modern. Kembali, contoh lain dari the power of packaging… 🙂

Referensi :

Tulisan ini adalah repost dari http://jurryhatammimi.wordpress.com/2011/01/07/private-label-contoh-lain-dari-the-power-of-packaging/


Leave a Reply