Angkot (berlebih), salah satu penyebab kemacetan kota Bandung


20130921_wali-kota-bandung-mencoba-menjadi-sopir-angkot_6567

Pagi hari di akhir pekan adalah kesempatan bagi saya untuk mencari sarapan di luar rumah tanpa terburu-buru harus segera pergi ke kampus. Kali itu saya mencoba Kupat Tahu Singaparna di sebuah warung tenda dengan berjalan kaki selama 10 menit dari rumah. Sambil menikmati sarapan, saya terlibat percakapan dengan seorang bapak berumur sekitar 50 tahunan yang pekerjaannya adalah sopir angkutan kota (angkot) Bandung trayek Kebon Kalapa – Dago.

Dari perbincangan santai tersebut saya jadi mengetahui beberapa hal baru tentang dunia per-angkot-an, khususnya di Kota Bandung. Kata pak sopir, angkot yang beroperasi di jalanan menurut aturan adalah yang berumur maksimal 10 tahun (sekarang tahun 2015, maka angkot paling tua yang boleh beroperasi adalah tahun produksi 2005). Setelah saya cek ternyata hal tersebut memang ada di pasal 89 ayat 3 Peraturan Daerah Kota Bandung No. 16/ 2012 (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2012/KotaBandung-2012-16.pdf). Jika lebih tua dari itu, maka angkot harus mengikuti program peremajaan. Aturan ini diberlakukan tentunya dalam rangka menjaga jumlah angkot ideal yang beroperasi dan demi keselamatan bersama. This is good..

Namun kenyataannya, menurut pak sopir lagi, angkot yang beroperasi ternyata lebih banyak yang berumur di atas 10 tahun (angkot tua). Dia sendiri mengakui bahwa dia adalah sopir angkot tua keluaran 2002. Apa bukti bahwa angkot yang beroperasi jumlahnya berlebih? Gampang. Sering lihat angkot yang jalan dengan hanya terisi satu dua penumpang saja?

Data menyebutkan bahwa dari 25 titik macet di kota Bandung, 16 diantaranya disebabkan oleh ketidaktertiban angkot (http://news.okezone.com/read/2013/11/13/526/896076/ini-50-titik-macet-di-kota-bandung-dan-penyebabnya-bagian-i). Jadi jelas, jika banyak artikel yang menyebutkan bahwa kemacetan disebabkan angkot yang ngetem, adalah sebuah keniscayaan jika kemacetan terjadi semakin parah karena angkot yang beroperasi jumlahnya ternyata sangat berlebih.

Jika angkot yang beredar sebegitu banyak, masih dapat untung kah sopir-sopir itu? Pak sopir menjawab ya. Kebanyakan sopir lebih memilih mengoperasikan angkot tua karena setorannya lebih kecil, yaitu sekitar Rp. 80 ribu sehari. Sementara angkot baru setorannya sekitar Rp. 100-120 ribu. Untuk sekedar memenuhi setoran kepada pemilik angkot, setiap sopir cukup mengoperasikan angkot sebanyak 2 rit (2 kali Pulang-Pergi). Hasil rit pertama untuk membeli BBM, dan rit kedua untuk membayar setoran. Rit setelahnya adalah untuk pendapatan pribadi sang sopir. Bagaimana dengan razia? Pak sopir menyebutkan bahwa jika ada razia, sopir yang jalan dengan angkot baru akan menyebarkan info kepada yang lain. Demi “keamanan”, angkot tua tidak beroperasi dulu untuk sementara. Very simple 🙂

Meskipun saya tidak 100% mempercayai kebenaran informasi sopir angkot tersebut, saya yakin inti dari percakapan yang saya alami diketahui pula oleh pemerintah. Apalagi mereka memiliki banyak personil di lapangan. Ketika beragam teknik pemecahan masalah kemacetan telah dilakukan (aturan satu arah, pemasangan pembatas jalan portabel, penempatan petugas di titik kemacetan, CCTV, Command Center, dan hal-hal inovatif lainnya), namun jika aturan jumlah angkot yang beroperasi dan aturan tentang ngetem (pasal 28 Peraturan Daerah Kota Bandung No. 16/ 2012) tidak ditegakkan, mustahil kemacetan di kota Bandung akan selesai.

Jumlah angkot berlebih harus segera diselesaikan dan tidak bisa berdalih dengan alasan melindungi sopir angkot dan keluarganya. Kemacetan sudah terbukti semakin parah dan merugikan lebih banyak pihak. Semoga segera ada solusi yang win-win bagi semua warga kota (termasuk sopir angkot dan keluarganya) menuju #BandungJuara. Aamiin..

sumber gambar:

http://m.tribunnews.com/images/view/798911/wali-kota-bandung-mencoba-menjadi-sopir-angkot


Leave a Reply